Sejauh ini tidak ditemukan tes klinis yang dapat mendiagnosa langsung autisme. Diagnosa yang paling tepat adalah dengan cara seksama mengamati perlilaku anak dalam berkomunikasi, bertingkah laku dan tingkat perkembangannya. Dikarenakan banyaknya perilaku autisme juga disebabkan oleh adanya kelainan kelainan lain (bukan autis) sehingga tes klinis dapat pula dilakukan untuk memastikan kemungkinan adanya penyebab lain tersebut.
Karena karakteristik dari penyandang autisme ini banyak sekali ragamnya sehingga cara diagnosa yang paling ideal adalah dengan memeriksakan anak pada beberapa tim dokter ahli seperti ahli neurologis, ahli psikologi anak, ahli penyakit anak, ahli terapi bahasa, ahli pengajar dan ahli profesional lainnya dibidang autisme. Dokter ahli / praktisi profesional yang hanya mempunyai sedikit pengetahuan / training mengenai autisme akan mengalami kesulitan dalam men-diagnosa autisme. Kadang kadang dokter ahli / praktisi profesional keliru melakukan diagnosa dan tidak melibatkan orang tua sewaktu melakukan diagnosa. Kesulitan dalam pemahaman autisme dapat menjurus pada kesalahan dalam memberikan pelayanan kepada penyandang autisme yang secara umum sangat memerlukan perhatian yang khusus dan rumit.
Hasil pengamatan sesaat belumlah dapat disimpulkan sebagai hasil mutlak dari kemampuan dan perilaku seorang anak. Masukkan dari orang tua mengenai kronologi perkembangan anak adalah hal terpenting dalam menentukan keakuratan hasil diagnosa. Secara sekilas, penyandang autis dapat terlihat seperti anak dengan keterbelakangan mental, kelainan perilaku, gangguan pendengaran atau bahkan berperilaku aneh dan nyentrik. Yang lebih menyulitkan lagi adalah semua gejala tersebut diatas dapat timbul secara bersamaan.
Karenanya sangatlah penting untuk membedakan antara autisme dengan yang lainnya sehingga diagnosa yang akurat dan penanganan sedini mungkin dapat dilakukan untuk menentukan terapi yang tepat.
Seperti apakah anak yang terkena autisme?
Sejak lahir sampai dengan umur 24 - 30 bulan anak anak yang terkena autisme umumnya terlihat normal. Setelah itu orang tua mulai melihat perubahan seperti keterlambatan berbicara, bermain dan berteman (bersosialisasi). Autisme adalah kombinasi dari beberapa kelainan perkembangan otak. Kemampuan dan perilaku dibawah ini adalah beberapa kelainan yang disebabkan oleh autisme.
Komunikasi:
Kemampuan berbahasa mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak dapat berbicara. Menggunakan kata kata tanpa menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan. Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu singkat.
Bersosialisasi (berteman)
Lebih banyak menghabiskan waktunya sendiri daripada dengan orang lain. Tidak tertarik untuk berteman. Tidak bereaksi terhadap isyarat isyarat dalam bersosialisasi atau berteman seperti misalnya tidak menatap mata lawan bicaranya atau tersenyum.
Kelainan penginderaan
Sensitif terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa (lidah) dari mulai ringan sampai berat.
Bermain
Tidak spontan / reflek dan tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tidak dapat meniru tindakan temannya dan tidak dapat memulai permainan yang bersifat pura pura.
Perilaku
Dapat menjadi sangat hiperaktif atau sangat pasif (pendiam). Marah tanpa alasan yang masuk akal. Amat sangat menaruh perhatian pada satu benda, ide, aktifitas ataupun orang. Tidak dapat menunjukkan akal sehatnya. Dapat sangat agresif ke orang lain atau dirinya sendiri. Seringkali sulit mengubah rutinitas sehari hari. kembali keatas
Mitos mengenai Autisme
Mitos-1 : Anak dengan kelainan autisme tidak pernah memandang mata lawan bicara-nya.
Banyak anak penyandang autisme ternyata dapat melakukan kontak mata tapi kontak mata tersebut mungkin dilakukan dalam jangka waktu yang lebih singkat dan sedikit berbeda dengan anak anak yang normal. Banyak diantaranya dapat bertatap muka, tersenyum dan meng-ekspresikan komunikasi non-verbal (bahasa tubuh) dengan baik.
Mitos-2 : Anak dengan kelainan autisme adalah anak jenius
Mitos yang menyatakan didalam anak penyandang autis tersembunyi kemampuan jenius mungkin dapat terjadi karena berbedanya kemampuan yang di-tunjukkan oleh anak penyandang autisme. Mereka dapat menunjukkan kemampuan fisik yang baik tetapi tidak dapat berbicara. Seorang anak autis dapat mengingat tanggal ulang tahun dari semua teman sekelasnya akan tetapi mengalami kesulitan kapan harus menggunakan kata 'kamu' atau 'saya'. Anak autis dapat membaca dengan artikulasi yang baik tetapi tidak dapat mengerti apa yang baru mereka baca. Anak autis dapat mempunyai IQ yang sangat tinggi. Sebagian besar anak autis menunjukkan keterlambatan dalam beberapa hal yang menggunakan ataupun memerlukan proses mental. Persentasi anak autis yang mempunyai intelegensi diatas normal ataupun dibawah normal adalah sangat kecil.
Mitos-3 : Anak dengan kelainan autisme tidak berbicara
Banyak anak penyandang autis dapat mempunyai kemampuan berbahasa dengan baik. Sebagian besar dari mereka dapat berkomunikasi dengan menggunakan simbol, gambar, komputer ataupun peralatan elektronik.
Mitos-4 : Anak dengan kelainan autisme tidak dapat menunjukkan kasih sayang
Barangkali mitos yang paling berlebihan adalah menganggap anak penyandang autisme tidak dapat menerima ataupun memberikan kasih sayang. Kita mengetahui bahwa stimulasi sensor anak autis diproses dengan cara yang berbeda dengan anak normal sehingga mengakibatkan anak autis mengalami kesulitan dalam meng-ekspresikan kasih sayang dengan cara yang lazim dilakukan oleh anak normal. Anak autis dapat memberikan dan menerima kasih sayang dengan cara mereka sendiri, kadangkala anggota keluarga ataupun teman mereka harus sabar menunggu dan belajar untuk dapat mengerti dan menghargai kemampuan anak autis yang terbatas dalam berhubungan dengan orang lain.
Mitos - mitos lainnya :
* Autisme adalah akibat salah asuhan orang tua
* Anak autis adalah anak yang tidak disiplin dan tidak dapat diatur dan ini hanyalah kelainan perilaku.
* Kebanyakan orang autis berpendidikan dan ahli terkemuka dalam bidang ilmu pengetahuan dan bidang lainnya seperti digambarkan dengan sangat bagus dalam film 'Rain Man' yang diperankan oleh Dustin Hoffman.
* Anak autis adalah anak anak tanpa perasaan dan emosi
* Anak autis tidak menyukai daya tarik fisik
* Anak autis tidak tersenyum
* Anak Autis tidak menginginkan teman
* Anak autis dapat berbicara jika mereka mau
* Autisme adalah ketidak mampuan emosional
Diagnosa dini dan peran aktif orang tua dapat mempermudah penanganan anak penyandang autisme.
Jumat, 26 Februari 2010
TUNA GRAHITA
Tuna grahita merupakan kata lain dari Retardasi Mental (mental retardation). Tuna berarti merugi.Grahita berarti pikiran. Retardasi Mental berarti terbelakang mental. Tuna grahita sering disepadankan dengan istilah-istilah, sebagai berikut:
1. Lemah pikiran (Feeble Minded)
2. Terbelakang mental (Mentally Retarded)
3. Bodoh atau dungu (Idiot)
4. Pandir (Imbecile)
5. Tolol (Moron)
6. Oligofrenia (Oligophrenia)
7. Mampu Didik (Educable)
8. Mampu Latih (Trainable)
9. Ketergantungan penuh (Totally Dependent) atau Butuh Rawat
10. Mental Subnormal
11. Defisit Mental
12. Defisit Kognitif
13. Cacat Mental
14. Defisiensi Mental
15. Gangguan Intelektual
Jakarta - Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih menetapkan tanggal 20 Desember sebagai Hari Kepedulian Tuna Grahita. Penetapan tersebut agar masyarakat lebih peduli kepada penderita Tuna Grahita.
"Hari ini kita ingin mendeklarasikan pada tanggal 20 Desember kita nyatakan sebagai Hari Kepedulian Tuna Grahita," ujar Menkes saat sambutan di acara Gerakan Tuna Grahita di SLB Tuna Grahita Yayasan Asih Budi Satu, Jl Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu (20/12/2009).
Tuna Grahita adalah gangguan intelejensi yang menyebabkan penurunan fungsi kecerdasan otak terhadap seseorang. "Ini menyebabkan terjadi masalah psiko-sosial terhadap penderita yang dialaminya sehari-hari. Berdasarkan data tahun 2006-2007 ditemukan 80 ribu lebih penderita Tuna Grahita di Indoensia," jelas Endang.
Endang menjelaskan, penderita Tuna Grahita merupakan bagian dari program kesehatan Depkes. Penderita Tuna Grahita yang tidak mampu akan mendapatkan program-program khusus dari Jamkesmas.
"Program Jamkesmas itu untuk penghuni panti panti akan tetapi banyak juga penderita yang berada di luar panti dan nantinya kita akan memberikan kartu Jamkesmas agar semuanya tercover," terangnya.
Endang mengatakan, Depkes telah berupaya agar penderita Tuna Grahita bisa hidup normal seperti biasa. Untuk itu, Depkes telah menyiapkan program pelatihan khusus penderita Tuna Grahita.
"Dari efek penanggulangan, Depkes mempunyai pusat intelejensia yang akan mempersiapkan rehabilitasi kognitif bagi penderita agar dapat hidup lebih produktif," imbuhnya.
Sementara, pantauan detikcom di lokasi, acara Gerakan Tuna Grahita dihadiri sejumlah penderita dengan usia antara 4 hingga 18 tahun serta didampingi orang tuanya. Acara tersebut diisi dengan gerak jalan, pentas seni dll.
1. Lemah pikiran (Feeble Minded)
2. Terbelakang mental (Mentally Retarded)
3. Bodoh atau dungu (Idiot)
4. Pandir (Imbecile)
5. Tolol (Moron)
6. Oligofrenia (Oligophrenia)
7. Mampu Didik (Educable)
8. Mampu Latih (Trainable)
9. Ketergantungan penuh (Totally Dependent) atau Butuh Rawat
10. Mental Subnormal
11. Defisit Mental
12. Defisit Kognitif
13. Cacat Mental
14. Defisiensi Mental
15. Gangguan Intelektual
Jakarta - Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih menetapkan tanggal 20 Desember sebagai Hari Kepedulian Tuna Grahita. Penetapan tersebut agar masyarakat lebih peduli kepada penderita Tuna Grahita.
"Hari ini kita ingin mendeklarasikan pada tanggal 20 Desember kita nyatakan sebagai Hari Kepedulian Tuna Grahita," ujar Menkes saat sambutan di acara Gerakan Tuna Grahita di SLB Tuna Grahita Yayasan Asih Budi Satu, Jl Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu (20/12/2009).
Tuna Grahita adalah gangguan intelejensi yang menyebabkan penurunan fungsi kecerdasan otak terhadap seseorang. "Ini menyebabkan terjadi masalah psiko-sosial terhadap penderita yang dialaminya sehari-hari. Berdasarkan data tahun 2006-2007 ditemukan 80 ribu lebih penderita Tuna Grahita di Indoensia," jelas Endang.
Endang menjelaskan, penderita Tuna Grahita merupakan bagian dari program kesehatan Depkes. Penderita Tuna Grahita yang tidak mampu akan mendapatkan program-program khusus dari Jamkesmas.
"Program Jamkesmas itu untuk penghuni panti panti akan tetapi banyak juga penderita yang berada di luar panti dan nantinya kita akan memberikan kartu Jamkesmas agar semuanya tercover," terangnya.
Endang mengatakan, Depkes telah berupaya agar penderita Tuna Grahita bisa hidup normal seperti biasa. Untuk itu, Depkes telah menyiapkan program pelatihan khusus penderita Tuna Grahita.
"Dari efek penanggulangan, Depkes mempunyai pusat intelejensia yang akan mempersiapkan rehabilitasi kognitif bagi penderita agar dapat hidup lebih produktif," imbuhnya.
Sementara, pantauan detikcom di lokasi, acara Gerakan Tuna Grahita dihadiri sejumlah penderita dengan usia antara 4 hingga 18 tahun serta didampingi orang tuanya. Acara tersebut diisi dengan gerak jalan, pentas seni dll.
Selasa, 09 Februari 2010
PENDIDIKAN INKLUSIF
Pengertian Pendidikan Inklusif
Menurut Stainback (1990) Sekolah Inklusif adalah Sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Kemudian Staub dan Peck (1995) mengemukakan bahwa Pendidikan Inklusif adalah Penempatan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tingkat ringan, sedang dan berat, secara penuh di kelas reguler. Sedangkan Sapon-Shevin (O’ Neil 1995) menyatakan bahwa Pendidikan inklusi sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar ABK dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya.
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Inklusi terkandung unsur adanya:
1. Layanan Pendidikan yang mengikutsertakan ABK untuk belajar bersama dengan anak sebayanya di kelas regular/ biasa terdekat dengan tempat tinggalnya;
2. Pemberian akses seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu;
3. Pemberian layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan semua anak,
Sekolah Inklusif (di Indonesia) adalah sekolah biasa (SB) yang mengakomodasi semua peserta didik baik anak normal maupun anak berkebutuhan khusus (cacat fisik, intelektual, sosial, emosional, mental, cerdas, berbakat istimewa daerah terpencil/ terbelakang, suku terasing, korban bencana alam/ bencana sosial/ miskin), mempunyai perbedaan pangkat, warna kulit, gender, suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, kelompok politik, anak kembar, yatim, yatim piatu, anak pedesaan, anak kota, anak terlantar, tuna wisma, anak terbuang, anak yang terlibat dalam sistem pengadilan remaja, anak terkena daerah konflik senjata, anak pengemis, anak terkena dampak narkoba HIV/ AIDS (ODHA), anak nomaden, dll sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.
* Pendidikan Inklusif adalah suatu strategi untuk memperbaiki sistem pendidikan melalui perubahan kebijakan dan pelaksanaan yang eksklusif.
* Pendidikan Inklusif berfokus pada peminimalan dan penghilangan berbagai hambatan terhadap akses, partisipasi dan belajar bagisemua anak, terutama bagi mereka yang secara sosial terdiskriminasikan sebagai akibat kecacatan dan kelainannya.
* Pendidikan inklusif melihat perbedaan individu bukan suatu masalah, namun lebih pada kesempatan untuk memperkaya pembelajaran bagi semua anak.
* Pendidikan Inklusif melaksanakan hak setiap anak untuk tidak terdiskriminasikan secara hukum sebagaimana tercantum dalam konvensi PBB (UNCRC) tentang hak anak.
Pendidikan Inklusif menghendaki sistem pendidikan dan sekolah lebih menjadikan anak sebagai pusat dari pembelajaran fleksibel dan dapat menerima perbedaan karakteristik dan latar belakang setiap anak untuk hidup bersama. Hal ini merupakan langkah awal untuk mempromosikan hidup yang lebih toleran, damai dan demokrasi
Landasan Yuridis
Deklarasi Dakar
Pendidikan Untuk Semua (2000)
1. Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak dini usia, terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung
2. Menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak, khususnya anak perempuan, anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka yang termasuk minoritas etnik, mempunyai akses dan menyelesaikan pendidikan dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas baik.
3. Menjamin bahwa kebutuhan belajar semua manusia muda dan orang dewasa terpenuhi melalui akses yang adil pada program-program belajar dan kecakapan hidup (life skills) yang sesuai.
4. Mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniraksaraan orang dewasa menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan, dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan berkelanjutan bagi semua orang dewasa.
5. Menghapus disparitas gender dalam pendidikan dasar dan menengah menjelang tahun 2005 dan mencapai persamaan gender dalam pendidikan menjelang tahun 2015 dengan suatu fokus jaminan bagi perempuan atas akses penuh dan sama pada prestasi dalam pendidikan dasar dengan kualitas yang baik
Memperbaiki semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulannya, sehingga hasil belajar yang diakui dan terukur dapat diraih oleh semua, terutama dalam keaksaraan, angka dan kecakapan hidup (life skills) yang penting.
Seruan International Education For All ( EFA) yang dikumandangkan UNESCO sebagai kesepakatan global hasil World Education Forum di Dakar, Senegal tahun 2000, penuntasan EFA diharapkan tercapai pada tahun 2015.
Seruan ini senafas dengan semangat dan jiwa Pasal 31 UUD 1945 tentang hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan dan Pasal 32 UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur mengenai Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
Pernyataan Salamanca Tahun 1994 merupakan perluasan tujuan Education For All melandasi pemerataan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus dengan mempertimbangkan pergeseran kebijakan pemerintah yang mendasar untuk menggalakkan pendekatan pendidikan inklusif.
Melalui pendidikan inklusif ini diharapkan sekolah-sekolah reguler dapat melayani semua anak, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus.
Dalam menerapkan pendidikan inklusif sekolah reguler memerlukan dukungan sekolah luar biasa dan Sentra PK/PLK sebagai Pusat Sumber.
Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 perihal pendidikan inklusif : Menyelenggarakan dan mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari : SD, SMP, SMA, SMK.
Landasan Filosofis
“Bhineka Tunggal Ika”. Filsafat ini wujud pengakuan kebhinekaan manusia, baik vertikal maupun horizontal yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di muka bumi. Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan, kecerdasan, fisik, finansial, pangkat, kemampuan, pengendalian diri dsb. Kebhinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah afiliasi politik, dsb.
Bertolak dari filosofis tersebut maka, kecacatan dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa, budaya dan agama. Artinya dari individu kecacatan pasti ditemukan keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri individu berbakat, pasti terdapat kecacatan tertentu, karena tidak ada makhluk di dunia ini yang sempurna. Sistem Pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar peserta didik yang beragam sehingga mendorong sikap demokratis dan penghargaan asas HAM.
Beberapa Kebaikan Pendidikan Inklusif
* Membangun kesadaran dan konsensus pentingnya Pendidikan Inklusif sekaligus menghilangkan sikap dan nilai yang diskriminatif.
* Melibatkan dan memberdayakan masyarakat untuk melakukan analisis situasi pendidikan lokal, mengumpulkan informasi.
* Semua anak pada setiap distrik dan mengidentifikasi alasan mengapa mereka tidak sekolah.
* Mengidentifikasi hambatan berkaitan dengan kelainan fisik, sosial, dan masalah lainnya terhadap akses dan pembelajaran.
* Melibatkan masyarakat dalam melakukan perencanaan dan monitoring mutu pendidikan bagi semua anak.
Alasan Pendidikan Inklusif Diterapkan
* Semua anak mempunyai hak yang sama untuk tidak di-diskriminasi-kan dan memperoleh pendidikan yang bermutu.
* Semua anak mempunyai kemampuan untuk mengikuti pelajaran tanpa melihat kelainan dan kecacatannya.
* Perbedaan merupakan penguat dalam meningkatkan mutu pembelajaran bagi semua anak.
* Sekolah dan guru mempunyai kemampuan untuk belajar merespon dari kebutuhan pembelajaran yang berbeda.
Bentuk Sekolah Inklusif
* Sekolah Biasa/Sekolah Umum, yang mengakomodasi semua Anak Berkebutuhan Khusus
* SLB/Sekolah Luar Biasa/Sekolah Khusus yang mengakomodasi anak normal
(Sekolah Inklusif adalah Sekolah yang terpilih melalui seleksi dan memiliki kesiapan baik Kepala Sekolah, Guru, Orang Tua, Peserta Didik, Tenaga Administrasi dan Lingkungan Sekolah/Masyarakat).
Oleh: Lilis Lismaya, S. Pd. (Praktisi Pendidikan Inklusif)
Menurut Stainback (1990) Sekolah Inklusif adalah Sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Kemudian Staub dan Peck (1995) mengemukakan bahwa Pendidikan Inklusif adalah Penempatan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tingkat ringan, sedang dan berat, secara penuh di kelas reguler. Sedangkan Sapon-Shevin (O’ Neil 1995) menyatakan bahwa Pendidikan inklusi sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar ABK dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya.
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Inklusi terkandung unsur adanya:
1. Layanan Pendidikan yang mengikutsertakan ABK untuk belajar bersama dengan anak sebayanya di kelas regular/ biasa terdekat dengan tempat tinggalnya;
2. Pemberian akses seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu;
3. Pemberian layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan semua anak,
Sekolah Inklusif (di Indonesia) adalah sekolah biasa (SB) yang mengakomodasi semua peserta didik baik anak normal maupun anak berkebutuhan khusus (cacat fisik, intelektual, sosial, emosional, mental, cerdas, berbakat istimewa daerah terpencil/ terbelakang, suku terasing, korban bencana alam/ bencana sosial/ miskin), mempunyai perbedaan pangkat, warna kulit, gender, suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, kelompok politik, anak kembar, yatim, yatim piatu, anak pedesaan, anak kota, anak terlantar, tuna wisma, anak terbuang, anak yang terlibat dalam sistem pengadilan remaja, anak terkena daerah konflik senjata, anak pengemis, anak terkena dampak narkoba HIV/ AIDS (ODHA), anak nomaden, dll sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.
* Pendidikan Inklusif adalah suatu strategi untuk memperbaiki sistem pendidikan melalui perubahan kebijakan dan pelaksanaan yang eksklusif.
* Pendidikan Inklusif berfokus pada peminimalan dan penghilangan berbagai hambatan terhadap akses, partisipasi dan belajar bagisemua anak, terutama bagi mereka yang secara sosial terdiskriminasikan sebagai akibat kecacatan dan kelainannya.
* Pendidikan inklusif melihat perbedaan individu bukan suatu masalah, namun lebih pada kesempatan untuk memperkaya pembelajaran bagi semua anak.
* Pendidikan Inklusif melaksanakan hak setiap anak untuk tidak terdiskriminasikan secara hukum sebagaimana tercantum dalam konvensi PBB (UNCRC) tentang hak anak.
Pendidikan Inklusif menghendaki sistem pendidikan dan sekolah lebih menjadikan anak sebagai pusat dari pembelajaran fleksibel dan dapat menerima perbedaan karakteristik dan latar belakang setiap anak untuk hidup bersama. Hal ini merupakan langkah awal untuk mempromosikan hidup yang lebih toleran, damai dan demokrasi
Landasan Yuridis
Deklarasi Dakar
Pendidikan Untuk Semua (2000)
1. Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak dini usia, terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung
2. Menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak, khususnya anak perempuan, anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka yang termasuk minoritas etnik, mempunyai akses dan menyelesaikan pendidikan dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas baik.
3. Menjamin bahwa kebutuhan belajar semua manusia muda dan orang dewasa terpenuhi melalui akses yang adil pada program-program belajar dan kecakapan hidup (life skills) yang sesuai.
4. Mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniraksaraan orang dewasa menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan, dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan berkelanjutan bagi semua orang dewasa.
5. Menghapus disparitas gender dalam pendidikan dasar dan menengah menjelang tahun 2005 dan mencapai persamaan gender dalam pendidikan menjelang tahun 2015 dengan suatu fokus jaminan bagi perempuan atas akses penuh dan sama pada prestasi dalam pendidikan dasar dengan kualitas yang baik
Memperbaiki semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulannya, sehingga hasil belajar yang diakui dan terukur dapat diraih oleh semua, terutama dalam keaksaraan, angka dan kecakapan hidup (life skills) yang penting.
Seruan International Education For All ( EFA) yang dikumandangkan UNESCO sebagai kesepakatan global hasil World Education Forum di Dakar, Senegal tahun 2000, penuntasan EFA diharapkan tercapai pada tahun 2015.
Seruan ini senafas dengan semangat dan jiwa Pasal 31 UUD 1945 tentang hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan dan Pasal 32 UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur mengenai Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
Pernyataan Salamanca Tahun 1994 merupakan perluasan tujuan Education For All melandasi pemerataan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus dengan mempertimbangkan pergeseran kebijakan pemerintah yang mendasar untuk menggalakkan pendekatan pendidikan inklusif.
Melalui pendidikan inklusif ini diharapkan sekolah-sekolah reguler dapat melayani semua anak, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus.
Dalam menerapkan pendidikan inklusif sekolah reguler memerlukan dukungan sekolah luar biasa dan Sentra PK/PLK sebagai Pusat Sumber.
Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 perihal pendidikan inklusif : Menyelenggarakan dan mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari : SD, SMP, SMA, SMK.
Landasan Filosofis
“Bhineka Tunggal Ika”. Filsafat ini wujud pengakuan kebhinekaan manusia, baik vertikal maupun horizontal yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di muka bumi. Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan, kecerdasan, fisik, finansial, pangkat, kemampuan, pengendalian diri dsb. Kebhinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah afiliasi politik, dsb.
Bertolak dari filosofis tersebut maka, kecacatan dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa, budaya dan agama. Artinya dari individu kecacatan pasti ditemukan keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri individu berbakat, pasti terdapat kecacatan tertentu, karena tidak ada makhluk di dunia ini yang sempurna. Sistem Pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar peserta didik yang beragam sehingga mendorong sikap demokratis dan penghargaan asas HAM.
Beberapa Kebaikan Pendidikan Inklusif
* Membangun kesadaran dan konsensus pentingnya Pendidikan Inklusif sekaligus menghilangkan sikap dan nilai yang diskriminatif.
* Melibatkan dan memberdayakan masyarakat untuk melakukan analisis situasi pendidikan lokal, mengumpulkan informasi.
* Semua anak pada setiap distrik dan mengidentifikasi alasan mengapa mereka tidak sekolah.
* Mengidentifikasi hambatan berkaitan dengan kelainan fisik, sosial, dan masalah lainnya terhadap akses dan pembelajaran.
* Melibatkan masyarakat dalam melakukan perencanaan dan monitoring mutu pendidikan bagi semua anak.
Alasan Pendidikan Inklusif Diterapkan
* Semua anak mempunyai hak yang sama untuk tidak di-diskriminasi-kan dan memperoleh pendidikan yang bermutu.
* Semua anak mempunyai kemampuan untuk mengikuti pelajaran tanpa melihat kelainan dan kecacatannya.
* Perbedaan merupakan penguat dalam meningkatkan mutu pembelajaran bagi semua anak.
* Sekolah dan guru mempunyai kemampuan untuk belajar merespon dari kebutuhan pembelajaran yang berbeda.
Bentuk Sekolah Inklusif
* Sekolah Biasa/Sekolah Umum, yang mengakomodasi semua Anak Berkebutuhan Khusus
* SLB/Sekolah Luar Biasa/Sekolah Khusus yang mengakomodasi anak normal
(Sekolah Inklusif adalah Sekolah yang terpilih melalui seleksi dan memiliki kesiapan baik Kepala Sekolah, Guru, Orang Tua, Peserta Didik, Tenaga Administrasi dan Lingkungan Sekolah/Masyarakat).
Oleh: Lilis Lismaya, S. Pd. (Praktisi Pendidikan Inklusif)
Jenis ABK
UU Sisdiknas Pasal 32 ayat 1: Pendidikan Khusus
1. Tunanetra
2. Tunarungu, Tunawicara
3. Tunagrahita : (a.l. Down Syndrome), Ringan ( IQ= 50-70), Sedang (IQ = 25-50), Berat (IQ £ 25)
4. Tunadaksa : Ringan, Sedang
5. Tunalaras (Destructive) & HIV AIDS & Narkoba
6. Autis
7. Tunaganda
8. Kesulitan Belajar (a.l. Hyperaktif, ADD/ADHD, Dyslexia/Baca, Dysgraphia/Tulis, Dyscalculia/Hitung, Dysphasia/Bicara, Dyspraxia/Motorik) & Lambat Belajar ( IQ = 70-90)
9. Gifted : Potensi Kecerdasan Istimewa (IQ ³ 125)
10. Talented : Potensi Bakat Istimewa (Multiple Intelligences : Language, Logico-mathematic, Visio-spatial, Bodily-kinesthetic, Musical, interpersonal, Intrapersonal, Natural, Spiritual) & INDIGO.
UU Sisdiknas Pasal 32 ayat 2 : Pendidikan Layanan Khusus
1. Daerah terbelakang/terpencil/pedalaman/pulau-pulau kecil, anak TKI di DN/LN, beberapa SILN (Sekolah Indonesia di Luar Negeri), transmigran;
2. Masyarakat etnis minoritas terpencil;
3. Pekerja anak, anak TKI, SILN, pelacur anak/trafficking, lapas anak/anak di lapas dewasa, anak jalanan, anak pemulung/pemulung anak;
4. Pengungsi (gempa, bencana, konflik);
5. Miskin absolut.
1. Tunanetra
2. Tunarungu, Tunawicara
3. Tunagrahita : (a.l. Down Syndrome), Ringan ( IQ= 50-70), Sedang (IQ = 25-50), Berat (IQ £ 25)
4. Tunadaksa : Ringan, Sedang
5. Tunalaras (Destructive) & HIV AIDS & Narkoba
6. Autis
7. Tunaganda
8. Kesulitan Belajar (a.l. Hyperaktif, ADD/ADHD, Dyslexia/Baca, Dysgraphia/Tulis, Dyscalculia/Hitung, Dysphasia/Bicara, Dyspraxia/Motorik) & Lambat Belajar ( IQ = 70-90)
9. Gifted : Potensi Kecerdasan Istimewa (IQ ³ 125)
10. Talented : Potensi Bakat Istimewa (Multiple Intelligences : Language, Logico-mathematic, Visio-spatial, Bodily-kinesthetic, Musical, interpersonal, Intrapersonal, Natural, Spiritual) & INDIGO.
UU Sisdiknas Pasal 32 ayat 2 : Pendidikan Layanan Khusus
1. Daerah terbelakang/terpencil/pedalaman/pulau-pulau kecil, anak TKI di DN/LN, beberapa SILN (Sekolah Indonesia di Luar Negeri), transmigran;
2. Masyarakat etnis minoritas terpencil;
3. Pekerja anak, anak TKI, SILN, pelacur anak/trafficking, lapas anak/anak di lapas dewasa, anak jalanan, anak pemulung/pemulung anak;
4. Pengungsi (gempa, bencana, konflik);
5. Miskin absolut.
Langganan:
Postingan (Atom)