A. Faktor Penyebab Kesulitan Belajar
Prestasi belajar dipengaruhi oleh dua faktor, internal dan eksternal. Penyebab utama kesulitan belajar (learning disabilities) adalah faktor internal, yaitu kemungkinan adanya disfungsi neurologis; sedangkan penyebab utama problem belajar (learning problems) adalah faktor eksternal, yaitu antara lain berupa strategi pembelajaran yang keliru, pengelolaan kegiatan belajar yang tidak membangkitkan motivasi belajar anak, dan pemberian ulangan penguatan (reinforcement) yang tidak tepat.
Disfungsi neurologis sering tidak hanya menyebabkan kesulitan belajar tetapi juga dapat menyebabkan tunagrahita dan gangguan emosional. Berbagai faktor yang dapat menyebabkan disfungsi neurologis yang pada gilirannya dapat menyebabkan kesulitan belajar antara lain adalah: (1) faktor genetik; (2) luka pada otak karena trauma fisik dan karena kekurangan oksigen; (3) biokimia yang diperlukan untuk memfungsikan saraf pusat); (4) biokimia yang dapat merusak otak (misalnya zat pewarna pada makanan); (5) pencemaran lingkungan (misalnya pencemaran timah hitam); (6) gizi yang tidak memadai; dan (7) pengaruh-pengaruh psikologis dan sosial yang merugikan perkembangan anak (deprivasi lingkungan). Dari berbagao penyebab tersebut dapat menimbulkan gangguan dari yang tarafnya ringan hingga yang tarafnya berat.
B. Prinsip-prinsip Pembelajaran Anak Berkesulitan Belajar Menulis (Disgrafia)
1. Kesulitan Belajar Menulis
Pelajaran menulis mencakup menulis dengan tangan atau menulis permulaan, mengeja, dan menulis ekspresif.
a. Menulis dengan Tangan dan Menulis Permulaan
Sejak awal masuk sekolah anak harus belajar menulis tangan karena kemampuan ini merupakan prasyarat bagi upaya belajar berbagai bidang studi yang lain. Kesulitan menulis dengan tangan tidak hanya menimbulkan masalah bagi anak tetapi juga guru. Tulisan yang tidak jelas misalnya, baik anak maupun guru tidak dapat membaca tulisan tersebut.
Menurut Lerner (1985: 402), ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan anak menulis: (1) motorik; (2) perilaku; (3) persepsi; (4) memori; (5) kemampuan melaksanakan cross modal; (6) penggunaan tangan yang dominan; dan (7) kemampuan memahami instruksi. Anak yang perkembangan motoriknya belum matang atau mengalami gangguan, akan mengalami kesulitan dalam menulis; tulisannya tidak jelas, terputus-putus atau tidak mengikuti garis. Anak yang hiperaktif atau yang perhatiannya mudah teralihkan, dapat menyebabkan pekerjaannya terhambat, termasuk pekerjaan menulis. Anak yang terganggu persepsinya dapat menimbulkan kesulitan dalam menulis. Jika persepsi visualnya yang terganggu, anak mungkin akan sulit membedakan bentuk-bentuk huruf yang hampir sama seperti “d” dengan “b”, “p” dengan “q”, “h”, dengan “n” atau “m” dengan “w”. Jika persepsi auditorisnya yang terganggu, mungkin anak akan mengalami kesulitan untuk menulis kata-kata yang diuacpkan oleh guru. Gangguan memori juga dapat menjadi penyebab terjadinya kesulitan belajar menulis karena anak tidak mampu mengingat apa yang akan ditulis. Jika gangguan menyangkut ingatan visual, maka anak akan sulit untuk mengingat huruf atau kata; dan jika gangguan tersebut menyangkut memori auditori, anak akan mengalami kesulitan menulis kata-kata yang baru saja diucapkan guru. Kemampuan melaksanakan cross modal menyangkut kemampuan mentransfer dan mengorganisasikan fungsi visual ke motorik. Ketidakmampuan di bidang ini dapat menyebabkan anak mengalami gangguan koordinasi mata-tangan sehingga tulisan menjadi tidak jelas, terputus-putus, atau tidak mengikuti garis lurus. Anak yang tangan kirinya lebih dominan atau kidal tulisannya juga sering terbalik-balik dan kotor. Ketidakmampuan memahami instruksi dapat menyebabkan anak sering keliru menulis kata-kata yang sesuai dengan perintah guru.
Kesulitan belajar menulis sering disebut juga disgrafia. Kesulitan belajar menulis yang berat disebut juga agrafia. Disgrafia menunjuk pada adanya ketidakmampuan mengingat cara membuat huruf atau simbol-simbol matematika. Disgrafia sering dikaitkan dengan kesulitan belajar membaca atau disleksia karena kedua jenis kesulitan tersebut sesungguhnya saling terkait.
Kesulitan belajar menulis sering terkait dengan cara anak memegang pensil. Ada empat macam cara anak memegang pensil yang dapat dijadikan sebagai petunjuk bahwa anak berkesulitan belajar menulis, yaitu: (1) sudut pensil terlalu besar; (2) sudut pensil terlalu kecil; (3) menggenggam pensil (seperti mau meninju); dan (4) menyangkutkan pensil di tangan atau menyeret (Hornsby, 1984: 66). Jenis memegang pensil yang terakhir, menyeret pensil, adalah khas bagi anak kidal. Keempat macam cara memegang pensil yang khas bagi anak berkesulitan belajar menulis tersebut dapat dilihat pada gambar 1. (hal 371).
Hingga saat ini ada dua pendapat tentang bentuk tulisan yang harus dipelajari pada awal anak belajar menulis. Ada yang berpendapat bahwa anak harus belajar huruf cetak dahulu sebelum belajar huruf sambung, dan ada pula yang menyarankan agar anak langsung belajar huruf sambung.
Menurut Hagin (Lovitt, 1989: 227), ada lima alasan perlunya anak diajar menulis huruf cetak lebih dahulu pada awal belajar menulis, yakni sebagai berikut:
1) huruf cetak lebih mudah dipelajari karena bentuknya sederhana;
2) buku-buku menggunakan huruf cetak sehingga anak-anak tidak perlu mengakomodasikan dua bentuk tulisan;
3) tulisan dengan huruf cetak lebih mudah dibaca daripada tulisan dengan huruf sambung;
4) huruf cetak digunakan untuk kehidupan sehari-hari seperti mengisi formulir atau berbagai dokumen; dan
5) kata-kata yang ditulis dengan huruf cetak lebih mudah dieja karena huruf-huruf tersebut berdiri sendiri-sendiri.
Para ahli yang menyarankan agar anak diajar menulis dengan huruf sambung lebih dahulu bertolak dari tiga alasan, sebagai berikut:
1) tulisan sambung memudahkan anak untuk mengenal kata-kata sebagai satu kesatuan;
2) tidak memungkinkan anak menulis terbalik-balik; dan
3) menulis dengan huruf sambung lebih cepat karena tidak ada gerakan pensil yang terhenti untuk tiap huruf.
Pengalaman menunjukkan, bahwa untuk menentukan jenis tulisan yang harus diajarkan pada saat anak belajar menulis permulaan bukan pekerjaan yang sederhana. Guru harus melakukan observasi cukup lama lebih dahulu untuk menentukan jenis tulisan yang pertama harus diajarkan. Jika hasil observasi menunjukkan bahwa anak telah memiliki kematangan motorik, memiliki koordinasi mata-tangan yang baik, memiliki kemampuan untuk melihat keseluruhan (gestalt) dengan baik, dan memiliki kemampuan analisis yang baik pula, maka guru dapat langsung mengajarkan huruf sambung kepada anak. Tetapi jika persyaratan-persyaratan seperti yang telah disebutkan belum terpenuhi, sebaiknya guru mengajarkan huruf cetak lebih dahulu kepada anak.
b. Mengeja
Dalam bahasa Indonesia belajar mengeja tidak sesulit dalam bahasa Inggris karena hampir tiap huruf memiliki bunyi sendiri-sendiri dan tidak banyak yang berubah jika huruf-huruf tersebut tersusun dalam bentuk kata-kata. Dalam bahasa Inggris bunyi huruf “o” akan berubah untuk kata “on”, “one”, “mother”, dan “to”. Dalam bahasa Indonesia bunyi huruf “o” akan sama untuk kata “orang”, “sawo”, dan “soto”. Meskipun bunyi huruf “o” untuk “orang” berbeda dari bunyi “o” untuk “lorong”.
Mengeja adalah suatu bidang yang tidak memungkinkan adanya kreativitas atau berpikir divergen. Hanya ada satu pola susunan huruf-huruf untuk suatu kata yang dapat dianggap benar, tidak ada kompromi. Sekelompok huruf yang sama akan memiliki makna yang berbeda jika disusun secara berbeda. Menurut Lerner (1985: 406), ada dua cara untuk mengajarkan mengeja, yaitu: (1) mengeja melalui pendekatan linguistik dan (2) mengeja melalui pendekatan kata-kata. Pendekatan linguistik menenkankan pada aturan-aturan dalam bahasa sehingga harus memperhatikan fonologi, morfologi, dan sintaksis atau pola-pola kata.
Kesulitan mengeja dapat terjadi jika anak tidak memiliki memori yang baik tentang huruf-huruf. Memori dapat berkaitan dengan memori visual untuk mengenal bentuk-bentuk huruf dan atau memori auditif untuk mengenal bunyi-bunyi huruf. Gangguan persepsi visual dapat menyebabkan anak sukar membedakan huruf-huruf yang bentuknya hampir sama, dan akibat dari kesukaran tersebut anak juga sukar untuk membedakan nama-nama huruf. Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai anak yang mampu mengeja huruf-huruf dari suatu kata tetapi tidak mampu membaca rangkaian huruf yang membentuk kata. Hal semacam ini tentu saja bukan tergolong kesulitan mengeja tetapi sudah merupakan kesulitan membaca.
c. Menulis Ekspresif
Yang dimaksud dengan menulis ekspresif adalah mengungkapkan pikiran dan atau perasaan ke dalam suatu bentuk tulisan, sehingga dapat dipahami oleh orang lain yang sebahasa. Menulis ekspresif disebut juga mengarang atau komposisi (Hallahan, et al, 1985: 143).
Kesulitan menulis ekspresif mungkin yang paling banyak dialami, baik oleh anak maupun orang dewasa. Agar dapat menulis ekspresif seseorang harus lebih dahulu memiliki kemampuan berbahasa ujaran, membaca, mengeja, menulis dengan jelas, dan memahami berbagai aturan yang berlaku bagi suatu jenis penulisan. Menurut Roit dan McKeinze yang dikutip Lovitt (1989: 252), ada tiga alasan yang menyebabkan kesulitan menulis ekspresif. Pertama, meskipun pendekatan analisis tugas mungkin sesuai untuk pengajaran matematika, dan mungkin juga membaca, pendekatan ini tidak sesuai untuk mengembangkan kemampuan menulis. Kedua, meskipun anak memperoleh banyak latihan tentang elemen-elemen menulis, mereka tidak memperoleh kesempatan yang cukup untuk menulis ekspresif. Ketiga, karena anak berkesulitan belajar kurang memiliki keterampilan metakognitif bila dibandingkan dengan anak yang tidak berkesulitan belajar.
Berdasarkan tiga alasan tersebut, Roit dan McKenzie mengemukakan tiga saran dalam menyusun program pengajaran menulis ekspresif, sebagai berikut:
1) guru hendaknya sensitif terhadap akibat sikap negatif anak berkesulitan belajar terhadap menulis. Guru hendaknya hendaknya juga membantu anak agar mereka menyadari bahwa menulis. Guru hendaknya juga membantu anak agar mereka menyadari bahwa menulis atau mengarang merupakan sesuatu yang menuntut keaktifan, proses eksploratoris, dan pengorganisian pikiran.
2) Guru hendaknya menyusun suatu jadwal menulis dalam situasi dan konteks yang bervariasi untuk membantu anak dalam membuat generalisasi.
3) Guru hendaknya menggunakan aktivitas yang berorientasi pada upaya membangkitkan rasa ingin tahu, semangat, prediksi dan sebagainya.
Dalam menyusun rancangan pembelajaran menulis ekspresif bagi anak berkesulitan belajar maupun yang tidak berkesulitan belajar, Hansen yang dikutip Lovitt (1989: 251), menyarankan agar mencakup hal-hal berikut:
1) menulis perintah dan pemberitahuan;
2) menulis laporan tentang artikel atau cerita;
3) merangkum bacaan, pembicaraan, laporan tertulis, dan diskusi kelas;
4) menulis pengalaman pribadi;
5) menulis karangan imajinatif;
6) menulis surat untuk tujuan sosial dan bisnis;
7) menulis untuk majalah atau koran sekolah;
8) menulis untuk mengorganisasikan dan mengembangkan ide; dan
9) menulis peringatan untuk diri sendiri dan orang lain.
2. Assesmen Kesulitan Belajar Menulis
Ada dua jenis assesmen yang seharusnya digunakan untuk mengetahui kesulitan belajar menulis, yaitu assesmen formal dan informal. Di negara kita, assesmen formal untuk kesulitan menulis boleh dikatakan belum dikembangkan. Ada dua penyebab assesmen formal tersebut belum dikembangkan. Pertama, kajian tentang kesulitan belajar itu sendiri masih berada pada tahap permulaan. Kedua, melakukan adaptasi berbagai instrumen assesmen dari negara lain yang telah mengembangkan.
a. Assesmen Kesulitan Menulis dengan Tangan (Menulis Permulaan)
Untuk mengetahui apakah anak mengalami kesulitan menulis tangan, guru dapat melakukan observasi terhadap berbagai kemampuan sebagai berikut:
1) menulis dari kiri ke kanan;
2) memegang pensil dengan benar;
3) menulis nama panggilannya sendiri;
4) menulis huruf-huruf;
5) menyalin kata-kata dari papan tulis ke buku atau ke kertas; dan
6) menulis pada garis yang tepat.
b. Assesmen Kesulitan Mengeja
Untuk mengetahui kemampuan anak dalam mengeja dapat dilihat adanya berbagai kesalahan pada tulisan mereka. Adapun berbagai kesalahan yang sering dilakukan oleh anak-anak dalam mengeja, adalah:
1) pengurangan huruf (bekerja ditulis bekrja)
2) mencerminkan dialek (sapi ditulis sampi)
3) mencerminkan kesalahan ucap (namun ditulis nanum)
4) pembalikan huruf dalam kata (ibu ditulis ubi)
5) pembalikan konsonan (air ditulis ari)
6) pembalikan konsonan atau vokal (berjalan ditulis bejralan)
7) pembalikan suku kata (laba ditulis bala).
c. Assesmen Kesulitan Menulis Ekspresif
Untuk mengetahui kemampuan menulis ekspresif anak-anak SD, Johnson yang dikutip Lovitt (1989: 254) telah mengembangkan instrumen informal yang meminta anak-anak menuliskan suatu cerita yang mencakup bagian permulaan, pertengahan, dan akhir. Berdasarkan tulisan tersebut, guru melakukan evaluasi berdasarkan:
1) panjang karangan;
2) ejaan, tanda baca dan tata bahasa;
3) kematangan dan keabstrakan tema;
4) bentuk tulisan tangan dan huruf; dan
5) panjang kalimat dan perkembangan perbendaharaan kata.
Poteet yang dikutip Lovitt (1989: 255) juga mengembangkan instrumen assesmen kemampuan menulis ekspresif. Instrumen yang berbentuk daftar cek tersebut mencakup: (1) keindahan tulisan; (2) ejaan; (3) tata bahasa; dan (4) ideasi.
3. Remedial Pembelajaran Kesulitan Belajar Menulis
Ada tiga jenis remedial pembelajaran kesulitan belajar menulis, yaitu: (1) remedial menulis permulaan dan menulis dengan tangan; (2) remedial mengeja; dan (3) remedial menulis ekspresif.
a. Remedial Menulis Permulaan atau Menulis dengan Tangan
Bermacam aktivitas yang menurut Lerner (1988: 422) dapat digunakan untuk membantu anak berkesulitan belajar menulis dengan tangan, seperti dikemukakan berikut ini.
1) Aktivitas menggunakan papan tulis. Aktivitas ini dilakukan sebelum pelajaran menulis yang sesungguhnya. Kepada anak disediakan papan tulis dan kapur; dan pada papan tulis tersebut, anak diberi kebebasan untuk menggambar garis, lingkaran, bentuk-bentuk geometri, angka, dan sebagainya. Aktivitas tersebut dapat melibatkan motorik kasar dan halus. Kegunaan aktivitas ini adalah untuk mematangkan motorik kasar, motorik halus, dan koordinasi mata-tangan yang merupakan keterampilan prasyarat dalam belajar menulis.
2) Bahan-bahan lain untuk latihan gerakan menulis. Selain papan tulis, ada bahan-bahan lain yang dapat digunakan untuk melatih gerakan menulis, yang mencakup motorik kasar maupun motorik halus. Bahan-bahan tersebut antara lain adalah kertas yang ditempel pada papan atau dengan menggunakan bak pasir. Pada kertas atau bak pasir tersebut, anak dapat berlatih membuat angka, huruf, atau bentuk-bentuk geometri. Tujuannya yaitu melatih gerakan menulis yang erat kaitannya dengan kematangan motorik halus dan koordinasi mata-tangan.
3) Posisi. Untuk latihan menulis, anak hendaknya disediakan kursi yang nyaman dan meja yang cukup berat agar tidak mudah goyang. Kedua tangan anak diletakkan di atas meja, tangan yang satu untuk menulis dan tangan yang lain untuk memegang kertas bagian atas.
4) Kertas. Posisi kertas untuk menulis cetak sejajar dengan sisi meja, untuk menulis tulisan sambung 60 derajat ke kiri bagi anak yang menggunakan tangan kanan, dan 60 derajat ke kanan bagi anak yang menggunakan tangan kiri atau kidal.
5) Memegang pensil. Banyak anak berkesulitan belajar menulis yang memegang pensil dengan cara yang tidak benar. Untuk memegang pensil yang benar, ibu jari dan telunjuk di atas pensil, sedangkan jari tengah berada di bawah pensil, dan pensil dipegang agak sedikit di atas bagian yang diraut.
6) Kertas Stensil dan Karton. Kepada anak diberikan kertas stensil yang sudah digambari berbagai bentuk. Letakkan kertas polos di atas meja, letakkan karbon di atasnya, dan kemudian letakkan kertas stensil bergambar di atas karbon tersebut, diklip dan selanjutnya anak diminta untuk mengikuti gambar dalam pensil.
7) Menjiplak. Buat bentuk atau tulisan dengan warna hitam tebal di atas kertas yang agak tebal, letakkan di atasnya selembar kertas tipis, dan suruh anak menjiplak bentuk atau tulisan tersebut.
8) Menggambar di antara dua garis. Kepada anak diberikan selembar kertas bergaris dan anak diminta membuat “jalan” yang mengikuti atau memotong garis-garis tersebut. Selanjutnya, anak diminta menulis berbagai angka dan huruf di antara garis-garis secara tepat.
9) Titik-titik. Guru membuat dua jenis huruf, huruf yang utuh dan huruf yang terbuat dari titik-titik. Selanjutnya, anak diminta untuk menghubungkan titik-titik tersebut menjadi huruf yang utuh.
10) Menjiplak dengan semakin dikurangi. Pada mulanya guru menulis huruf utuh dan anak diminta untuk menjiplak huruf tersebut. Lama kelamaan guru yang menulis sebagian besar hingga sebagian kecil huruf tersebut dan anak diminta untuk meneruskan penulisan.
11) Buku bergaris tiga. Buku bergaris tiga sering disebut juga buku tipis tebal. Dengan buku bergaris semacam itu, anak dapat berlatih membuat dan meletakkan huruf-huruf secara benar. Garis dapat diberi warna yang mencolok untuk meningkatkan perhatian anak.
b. Remedial Mengeja
Ada beberapa metode pengajaran remedial bagi anak berkesulitan belajar mengeja, yakni sebagai berikut:
1) Persepsi dan Memori Auditoris bunyi-bunyi huruf. Berikan kepada anak latihan untuk mendengarkan bunyi-bunyi huruf, berikan penekanan pada pengetahuan tentang bunyi-bunyi bahasa dan analisis susunannya, dan kembangkan pula keterampilan untuk menggunakan bunyi-bunyi bahasa secara umum.
2) Persepsi dan memori visual huruf-huruf. Berikan kepada anak latihan persepsi dan memori visual huruf-huruf sehingga anak-anak dapat mengenal dan mengingat bentuk-bentuk huruf tersebut.
3) Penggunaan Metode Multisensori, yang meliputi penggunaan cara-cara seperti: (a) mengartikan dan mengucapkan; (b) mengkhayalkan; (c) mengingat kembali; (d) menganalisis kata; (d) menguasai.
4) Metode Fernald, merupakan pendekatan multisensori untuk mengajar membaca, menulis, dan mengeja.
5) Metode “tes – belajar – tes” lawan metode “belajar – tes”. Metode “tes – belajar – tes”, dimulai dengan memberikan tes awal untuk mengetahui kemampuan anak, setelah itu anak diajar, dan kemudian dites lagi. Sedangkan metode “belajar – tes” dimulai dari mengajarkan kata lebih dahulu baru kemudian melakukan tes untuk mengetahui penguasaan anak.
6) Mengeja kata dari proyektor film strip. Guru menulis kata-kata yang akan dieja pada transparansi. Kata-kata tersebut selanjutnya diletakkan di atas OHP dan ditutup dengan kertas yang memiliki “jendela” yang dapat dibuka dan ditutup.
7) Mengeja melalui tape recorder. Pengajaran mengeja dapat dilakukan dengan menggunakan tape recorder. Anak yang sudah dapat belajar sendiri, dapat melakukannya di laboratorium bahasa.
8) Menirukan kesalahan anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mengulang kesalahan anak sebelum memperbaiki-nya dapat memberikan keuntungan kepada anak. Melalui metode ini, anak disadarkan dari kesalahannya, baru kemudian diperbaiki. Dengan demikian, anak dapat membedakan antara respons yang salah dengan respons yang benar.
c. Remedial Menulis Ekspresif
Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam melaksanakan remedial pembelajaran kesulitan menulis ekspresif, sebagai berikut:
1) Memberikan kesempatan kepada anak untuk banyak menulis.
2) Menempatkan anak dalam suasana kehidupan yang gemar menulis.
3) Biarkan anak memilih topik tulisannya sendiri.
4) Model penulisan dan berpikir yang strategis.
5) Mengembangkan berpikir reflektif.
6) Transfer kepemilikan dan kontrol penulisan siswa.
Oleh: Agus Irawan Sensus, M.Pd.
Selasa, 16 Maret 2010
Jumat, 26 Februari 2010
Ciri ciri dan Mitos Autisme
Sejauh ini tidak ditemukan tes klinis yang dapat mendiagnosa langsung autisme. Diagnosa yang paling tepat adalah dengan cara seksama mengamati perlilaku anak dalam berkomunikasi, bertingkah laku dan tingkat perkembangannya. Dikarenakan banyaknya perilaku autisme juga disebabkan oleh adanya kelainan kelainan lain (bukan autis) sehingga tes klinis dapat pula dilakukan untuk memastikan kemungkinan adanya penyebab lain tersebut.
Karena karakteristik dari penyandang autisme ini banyak sekali ragamnya sehingga cara diagnosa yang paling ideal adalah dengan memeriksakan anak pada beberapa tim dokter ahli seperti ahli neurologis, ahli psikologi anak, ahli penyakit anak, ahli terapi bahasa, ahli pengajar dan ahli profesional lainnya dibidang autisme. Dokter ahli / praktisi profesional yang hanya mempunyai sedikit pengetahuan / training mengenai autisme akan mengalami kesulitan dalam men-diagnosa autisme. Kadang kadang dokter ahli / praktisi profesional keliru melakukan diagnosa dan tidak melibatkan orang tua sewaktu melakukan diagnosa. Kesulitan dalam pemahaman autisme dapat menjurus pada kesalahan dalam memberikan pelayanan kepada penyandang autisme yang secara umum sangat memerlukan perhatian yang khusus dan rumit.
Hasil pengamatan sesaat belumlah dapat disimpulkan sebagai hasil mutlak dari kemampuan dan perilaku seorang anak. Masukkan dari orang tua mengenai kronologi perkembangan anak adalah hal terpenting dalam menentukan keakuratan hasil diagnosa. Secara sekilas, penyandang autis dapat terlihat seperti anak dengan keterbelakangan mental, kelainan perilaku, gangguan pendengaran atau bahkan berperilaku aneh dan nyentrik. Yang lebih menyulitkan lagi adalah semua gejala tersebut diatas dapat timbul secara bersamaan.
Karenanya sangatlah penting untuk membedakan antara autisme dengan yang lainnya sehingga diagnosa yang akurat dan penanganan sedini mungkin dapat dilakukan untuk menentukan terapi yang tepat.
Seperti apakah anak yang terkena autisme?
Sejak lahir sampai dengan umur 24 - 30 bulan anak anak yang terkena autisme umumnya terlihat normal. Setelah itu orang tua mulai melihat perubahan seperti keterlambatan berbicara, bermain dan berteman (bersosialisasi). Autisme adalah kombinasi dari beberapa kelainan perkembangan otak. Kemampuan dan perilaku dibawah ini adalah beberapa kelainan yang disebabkan oleh autisme.
Komunikasi:
Kemampuan berbahasa mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak dapat berbicara. Menggunakan kata kata tanpa menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan. Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu singkat.
Bersosialisasi (berteman)
Lebih banyak menghabiskan waktunya sendiri daripada dengan orang lain. Tidak tertarik untuk berteman. Tidak bereaksi terhadap isyarat isyarat dalam bersosialisasi atau berteman seperti misalnya tidak menatap mata lawan bicaranya atau tersenyum.
Kelainan penginderaan
Sensitif terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa (lidah) dari mulai ringan sampai berat.
Bermain
Tidak spontan / reflek dan tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tidak dapat meniru tindakan temannya dan tidak dapat memulai permainan yang bersifat pura pura.
Perilaku
Dapat menjadi sangat hiperaktif atau sangat pasif (pendiam). Marah tanpa alasan yang masuk akal. Amat sangat menaruh perhatian pada satu benda, ide, aktifitas ataupun orang. Tidak dapat menunjukkan akal sehatnya. Dapat sangat agresif ke orang lain atau dirinya sendiri. Seringkali sulit mengubah rutinitas sehari hari. kembali keatas
Mitos mengenai Autisme
Mitos-1 : Anak dengan kelainan autisme tidak pernah memandang mata lawan bicara-nya.
Banyak anak penyandang autisme ternyata dapat melakukan kontak mata tapi kontak mata tersebut mungkin dilakukan dalam jangka waktu yang lebih singkat dan sedikit berbeda dengan anak anak yang normal. Banyak diantaranya dapat bertatap muka, tersenyum dan meng-ekspresikan komunikasi non-verbal (bahasa tubuh) dengan baik.
Mitos-2 : Anak dengan kelainan autisme adalah anak jenius
Mitos yang menyatakan didalam anak penyandang autis tersembunyi kemampuan jenius mungkin dapat terjadi karena berbedanya kemampuan yang di-tunjukkan oleh anak penyandang autisme. Mereka dapat menunjukkan kemampuan fisik yang baik tetapi tidak dapat berbicara. Seorang anak autis dapat mengingat tanggal ulang tahun dari semua teman sekelasnya akan tetapi mengalami kesulitan kapan harus menggunakan kata 'kamu' atau 'saya'. Anak autis dapat membaca dengan artikulasi yang baik tetapi tidak dapat mengerti apa yang baru mereka baca. Anak autis dapat mempunyai IQ yang sangat tinggi. Sebagian besar anak autis menunjukkan keterlambatan dalam beberapa hal yang menggunakan ataupun memerlukan proses mental. Persentasi anak autis yang mempunyai intelegensi diatas normal ataupun dibawah normal adalah sangat kecil.
Mitos-3 : Anak dengan kelainan autisme tidak berbicara
Banyak anak penyandang autis dapat mempunyai kemampuan berbahasa dengan baik. Sebagian besar dari mereka dapat berkomunikasi dengan menggunakan simbol, gambar, komputer ataupun peralatan elektronik.
Mitos-4 : Anak dengan kelainan autisme tidak dapat menunjukkan kasih sayang
Barangkali mitos yang paling berlebihan adalah menganggap anak penyandang autisme tidak dapat menerima ataupun memberikan kasih sayang. Kita mengetahui bahwa stimulasi sensor anak autis diproses dengan cara yang berbeda dengan anak normal sehingga mengakibatkan anak autis mengalami kesulitan dalam meng-ekspresikan kasih sayang dengan cara yang lazim dilakukan oleh anak normal. Anak autis dapat memberikan dan menerima kasih sayang dengan cara mereka sendiri, kadangkala anggota keluarga ataupun teman mereka harus sabar menunggu dan belajar untuk dapat mengerti dan menghargai kemampuan anak autis yang terbatas dalam berhubungan dengan orang lain.
Mitos - mitos lainnya :
* Autisme adalah akibat salah asuhan orang tua
* Anak autis adalah anak yang tidak disiplin dan tidak dapat diatur dan ini hanyalah kelainan perilaku.
* Kebanyakan orang autis berpendidikan dan ahli terkemuka dalam bidang ilmu pengetahuan dan bidang lainnya seperti digambarkan dengan sangat bagus dalam film 'Rain Man' yang diperankan oleh Dustin Hoffman.
* Anak autis adalah anak anak tanpa perasaan dan emosi
* Anak autis tidak menyukai daya tarik fisik
* Anak autis tidak tersenyum
* Anak Autis tidak menginginkan teman
* Anak autis dapat berbicara jika mereka mau
* Autisme adalah ketidak mampuan emosional
Diagnosa dini dan peran aktif orang tua dapat mempermudah penanganan anak penyandang autisme.
Karena karakteristik dari penyandang autisme ini banyak sekali ragamnya sehingga cara diagnosa yang paling ideal adalah dengan memeriksakan anak pada beberapa tim dokter ahli seperti ahli neurologis, ahli psikologi anak, ahli penyakit anak, ahli terapi bahasa, ahli pengajar dan ahli profesional lainnya dibidang autisme. Dokter ahli / praktisi profesional yang hanya mempunyai sedikit pengetahuan / training mengenai autisme akan mengalami kesulitan dalam men-diagnosa autisme. Kadang kadang dokter ahli / praktisi profesional keliru melakukan diagnosa dan tidak melibatkan orang tua sewaktu melakukan diagnosa. Kesulitan dalam pemahaman autisme dapat menjurus pada kesalahan dalam memberikan pelayanan kepada penyandang autisme yang secara umum sangat memerlukan perhatian yang khusus dan rumit.
Hasil pengamatan sesaat belumlah dapat disimpulkan sebagai hasil mutlak dari kemampuan dan perilaku seorang anak. Masukkan dari orang tua mengenai kronologi perkembangan anak adalah hal terpenting dalam menentukan keakuratan hasil diagnosa. Secara sekilas, penyandang autis dapat terlihat seperti anak dengan keterbelakangan mental, kelainan perilaku, gangguan pendengaran atau bahkan berperilaku aneh dan nyentrik. Yang lebih menyulitkan lagi adalah semua gejala tersebut diatas dapat timbul secara bersamaan.
Karenanya sangatlah penting untuk membedakan antara autisme dengan yang lainnya sehingga diagnosa yang akurat dan penanganan sedini mungkin dapat dilakukan untuk menentukan terapi yang tepat.
Seperti apakah anak yang terkena autisme?
Sejak lahir sampai dengan umur 24 - 30 bulan anak anak yang terkena autisme umumnya terlihat normal. Setelah itu orang tua mulai melihat perubahan seperti keterlambatan berbicara, bermain dan berteman (bersosialisasi). Autisme adalah kombinasi dari beberapa kelainan perkembangan otak. Kemampuan dan perilaku dibawah ini adalah beberapa kelainan yang disebabkan oleh autisme.
Komunikasi:
Kemampuan berbahasa mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak dapat berbicara. Menggunakan kata kata tanpa menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan. Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu singkat.
Bersosialisasi (berteman)
Lebih banyak menghabiskan waktunya sendiri daripada dengan orang lain. Tidak tertarik untuk berteman. Tidak bereaksi terhadap isyarat isyarat dalam bersosialisasi atau berteman seperti misalnya tidak menatap mata lawan bicaranya atau tersenyum.
Kelainan penginderaan
Sensitif terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa (lidah) dari mulai ringan sampai berat.
Bermain
Tidak spontan / reflek dan tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tidak dapat meniru tindakan temannya dan tidak dapat memulai permainan yang bersifat pura pura.
Perilaku
Dapat menjadi sangat hiperaktif atau sangat pasif (pendiam). Marah tanpa alasan yang masuk akal. Amat sangat menaruh perhatian pada satu benda, ide, aktifitas ataupun orang. Tidak dapat menunjukkan akal sehatnya. Dapat sangat agresif ke orang lain atau dirinya sendiri. Seringkali sulit mengubah rutinitas sehari hari. kembali keatas
Mitos mengenai Autisme
Mitos-1 : Anak dengan kelainan autisme tidak pernah memandang mata lawan bicara-nya.
Banyak anak penyandang autisme ternyata dapat melakukan kontak mata tapi kontak mata tersebut mungkin dilakukan dalam jangka waktu yang lebih singkat dan sedikit berbeda dengan anak anak yang normal. Banyak diantaranya dapat bertatap muka, tersenyum dan meng-ekspresikan komunikasi non-verbal (bahasa tubuh) dengan baik.
Mitos-2 : Anak dengan kelainan autisme adalah anak jenius
Mitos yang menyatakan didalam anak penyandang autis tersembunyi kemampuan jenius mungkin dapat terjadi karena berbedanya kemampuan yang di-tunjukkan oleh anak penyandang autisme. Mereka dapat menunjukkan kemampuan fisik yang baik tetapi tidak dapat berbicara. Seorang anak autis dapat mengingat tanggal ulang tahun dari semua teman sekelasnya akan tetapi mengalami kesulitan kapan harus menggunakan kata 'kamu' atau 'saya'. Anak autis dapat membaca dengan artikulasi yang baik tetapi tidak dapat mengerti apa yang baru mereka baca. Anak autis dapat mempunyai IQ yang sangat tinggi. Sebagian besar anak autis menunjukkan keterlambatan dalam beberapa hal yang menggunakan ataupun memerlukan proses mental. Persentasi anak autis yang mempunyai intelegensi diatas normal ataupun dibawah normal adalah sangat kecil.
Mitos-3 : Anak dengan kelainan autisme tidak berbicara
Banyak anak penyandang autis dapat mempunyai kemampuan berbahasa dengan baik. Sebagian besar dari mereka dapat berkomunikasi dengan menggunakan simbol, gambar, komputer ataupun peralatan elektronik.
Mitos-4 : Anak dengan kelainan autisme tidak dapat menunjukkan kasih sayang
Barangkali mitos yang paling berlebihan adalah menganggap anak penyandang autisme tidak dapat menerima ataupun memberikan kasih sayang. Kita mengetahui bahwa stimulasi sensor anak autis diproses dengan cara yang berbeda dengan anak normal sehingga mengakibatkan anak autis mengalami kesulitan dalam meng-ekspresikan kasih sayang dengan cara yang lazim dilakukan oleh anak normal. Anak autis dapat memberikan dan menerima kasih sayang dengan cara mereka sendiri, kadangkala anggota keluarga ataupun teman mereka harus sabar menunggu dan belajar untuk dapat mengerti dan menghargai kemampuan anak autis yang terbatas dalam berhubungan dengan orang lain.
Mitos - mitos lainnya :
* Autisme adalah akibat salah asuhan orang tua
* Anak autis adalah anak yang tidak disiplin dan tidak dapat diatur dan ini hanyalah kelainan perilaku.
* Kebanyakan orang autis berpendidikan dan ahli terkemuka dalam bidang ilmu pengetahuan dan bidang lainnya seperti digambarkan dengan sangat bagus dalam film 'Rain Man' yang diperankan oleh Dustin Hoffman.
* Anak autis adalah anak anak tanpa perasaan dan emosi
* Anak autis tidak menyukai daya tarik fisik
* Anak autis tidak tersenyum
* Anak Autis tidak menginginkan teman
* Anak autis dapat berbicara jika mereka mau
* Autisme adalah ketidak mampuan emosional
Diagnosa dini dan peran aktif orang tua dapat mempermudah penanganan anak penyandang autisme.
TUNA GRAHITA
Tuna grahita merupakan kata lain dari Retardasi Mental (mental retardation). Tuna berarti merugi.Grahita berarti pikiran. Retardasi Mental berarti terbelakang mental. Tuna grahita sering disepadankan dengan istilah-istilah, sebagai berikut:
1. Lemah pikiran (Feeble Minded)
2. Terbelakang mental (Mentally Retarded)
3. Bodoh atau dungu (Idiot)
4. Pandir (Imbecile)
5. Tolol (Moron)
6. Oligofrenia (Oligophrenia)
7. Mampu Didik (Educable)
8. Mampu Latih (Trainable)
9. Ketergantungan penuh (Totally Dependent) atau Butuh Rawat
10. Mental Subnormal
11. Defisit Mental
12. Defisit Kognitif
13. Cacat Mental
14. Defisiensi Mental
15. Gangguan Intelektual
Jakarta - Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih menetapkan tanggal 20 Desember sebagai Hari Kepedulian Tuna Grahita. Penetapan tersebut agar masyarakat lebih peduli kepada penderita Tuna Grahita.
"Hari ini kita ingin mendeklarasikan pada tanggal 20 Desember kita nyatakan sebagai Hari Kepedulian Tuna Grahita," ujar Menkes saat sambutan di acara Gerakan Tuna Grahita di SLB Tuna Grahita Yayasan Asih Budi Satu, Jl Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu (20/12/2009).
Tuna Grahita adalah gangguan intelejensi yang menyebabkan penurunan fungsi kecerdasan otak terhadap seseorang. "Ini menyebabkan terjadi masalah psiko-sosial terhadap penderita yang dialaminya sehari-hari. Berdasarkan data tahun 2006-2007 ditemukan 80 ribu lebih penderita Tuna Grahita di Indoensia," jelas Endang.
Endang menjelaskan, penderita Tuna Grahita merupakan bagian dari program kesehatan Depkes. Penderita Tuna Grahita yang tidak mampu akan mendapatkan program-program khusus dari Jamkesmas.
"Program Jamkesmas itu untuk penghuni panti panti akan tetapi banyak juga penderita yang berada di luar panti dan nantinya kita akan memberikan kartu Jamkesmas agar semuanya tercover," terangnya.
Endang mengatakan, Depkes telah berupaya agar penderita Tuna Grahita bisa hidup normal seperti biasa. Untuk itu, Depkes telah menyiapkan program pelatihan khusus penderita Tuna Grahita.
"Dari efek penanggulangan, Depkes mempunyai pusat intelejensia yang akan mempersiapkan rehabilitasi kognitif bagi penderita agar dapat hidup lebih produktif," imbuhnya.
Sementara, pantauan detikcom di lokasi, acara Gerakan Tuna Grahita dihadiri sejumlah penderita dengan usia antara 4 hingga 18 tahun serta didampingi orang tuanya. Acara tersebut diisi dengan gerak jalan, pentas seni dll.
1. Lemah pikiran (Feeble Minded)
2. Terbelakang mental (Mentally Retarded)
3. Bodoh atau dungu (Idiot)
4. Pandir (Imbecile)
5. Tolol (Moron)
6. Oligofrenia (Oligophrenia)
7. Mampu Didik (Educable)
8. Mampu Latih (Trainable)
9. Ketergantungan penuh (Totally Dependent) atau Butuh Rawat
10. Mental Subnormal
11. Defisit Mental
12. Defisit Kognitif
13. Cacat Mental
14. Defisiensi Mental
15. Gangguan Intelektual
Jakarta - Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih menetapkan tanggal 20 Desember sebagai Hari Kepedulian Tuna Grahita. Penetapan tersebut agar masyarakat lebih peduli kepada penderita Tuna Grahita.
"Hari ini kita ingin mendeklarasikan pada tanggal 20 Desember kita nyatakan sebagai Hari Kepedulian Tuna Grahita," ujar Menkes saat sambutan di acara Gerakan Tuna Grahita di SLB Tuna Grahita Yayasan Asih Budi Satu, Jl Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu (20/12/2009).
Tuna Grahita adalah gangguan intelejensi yang menyebabkan penurunan fungsi kecerdasan otak terhadap seseorang. "Ini menyebabkan terjadi masalah psiko-sosial terhadap penderita yang dialaminya sehari-hari. Berdasarkan data tahun 2006-2007 ditemukan 80 ribu lebih penderita Tuna Grahita di Indoensia," jelas Endang.
Endang menjelaskan, penderita Tuna Grahita merupakan bagian dari program kesehatan Depkes. Penderita Tuna Grahita yang tidak mampu akan mendapatkan program-program khusus dari Jamkesmas.
"Program Jamkesmas itu untuk penghuni panti panti akan tetapi banyak juga penderita yang berada di luar panti dan nantinya kita akan memberikan kartu Jamkesmas agar semuanya tercover," terangnya.
Endang mengatakan, Depkes telah berupaya agar penderita Tuna Grahita bisa hidup normal seperti biasa. Untuk itu, Depkes telah menyiapkan program pelatihan khusus penderita Tuna Grahita.
"Dari efek penanggulangan, Depkes mempunyai pusat intelejensia yang akan mempersiapkan rehabilitasi kognitif bagi penderita agar dapat hidup lebih produktif," imbuhnya.
Sementara, pantauan detikcom di lokasi, acara Gerakan Tuna Grahita dihadiri sejumlah penderita dengan usia antara 4 hingga 18 tahun serta didampingi orang tuanya. Acara tersebut diisi dengan gerak jalan, pentas seni dll.
Selasa, 09 Februari 2010
PENDIDIKAN INKLUSIF
Pengertian Pendidikan Inklusif
Menurut Stainback (1990) Sekolah Inklusif adalah Sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Kemudian Staub dan Peck (1995) mengemukakan bahwa Pendidikan Inklusif adalah Penempatan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tingkat ringan, sedang dan berat, secara penuh di kelas reguler. Sedangkan Sapon-Shevin (O’ Neil 1995) menyatakan bahwa Pendidikan inklusi sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar ABK dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya.
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Inklusi terkandung unsur adanya:
1. Layanan Pendidikan yang mengikutsertakan ABK untuk belajar bersama dengan anak sebayanya di kelas regular/ biasa terdekat dengan tempat tinggalnya;
2. Pemberian akses seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu;
3. Pemberian layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan semua anak,
Sekolah Inklusif (di Indonesia) adalah sekolah biasa (SB) yang mengakomodasi semua peserta didik baik anak normal maupun anak berkebutuhan khusus (cacat fisik, intelektual, sosial, emosional, mental, cerdas, berbakat istimewa daerah terpencil/ terbelakang, suku terasing, korban bencana alam/ bencana sosial/ miskin), mempunyai perbedaan pangkat, warna kulit, gender, suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, kelompok politik, anak kembar, yatim, yatim piatu, anak pedesaan, anak kota, anak terlantar, tuna wisma, anak terbuang, anak yang terlibat dalam sistem pengadilan remaja, anak terkena daerah konflik senjata, anak pengemis, anak terkena dampak narkoba HIV/ AIDS (ODHA), anak nomaden, dll sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.
* Pendidikan Inklusif adalah suatu strategi untuk memperbaiki sistem pendidikan melalui perubahan kebijakan dan pelaksanaan yang eksklusif.
* Pendidikan Inklusif berfokus pada peminimalan dan penghilangan berbagai hambatan terhadap akses, partisipasi dan belajar bagisemua anak, terutama bagi mereka yang secara sosial terdiskriminasikan sebagai akibat kecacatan dan kelainannya.
* Pendidikan inklusif melihat perbedaan individu bukan suatu masalah, namun lebih pada kesempatan untuk memperkaya pembelajaran bagi semua anak.
* Pendidikan Inklusif melaksanakan hak setiap anak untuk tidak terdiskriminasikan secara hukum sebagaimana tercantum dalam konvensi PBB (UNCRC) tentang hak anak.
Pendidikan Inklusif menghendaki sistem pendidikan dan sekolah lebih menjadikan anak sebagai pusat dari pembelajaran fleksibel dan dapat menerima perbedaan karakteristik dan latar belakang setiap anak untuk hidup bersama. Hal ini merupakan langkah awal untuk mempromosikan hidup yang lebih toleran, damai dan demokrasi
Landasan Yuridis
Deklarasi Dakar
Pendidikan Untuk Semua (2000)
1. Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak dini usia, terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung
2. Menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak, khususnya anak perempuan, anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka yang termasuk minoritas etnik, mempunyai akses dan menyelesaikan pendidikan dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas baik.
3. Menjamin bahwa kebutuhan belajar semua manusia muda dan orang dewasa terpenuhi melalui akses yang adil pada program-program belajar dan kecakapan hidup (life skills) yang sesuai.
4. Mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniraksaraan orang dewasa menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan, dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan berkelanjutan bagi semua orang dewasa.
5. Menghapus disparitas gender dalam pendidikan dasar dan menengah menjelang tahun 2005 dan mencapai persamaan gender dalam pendidikan menjelang tahun 2015 dengan suatu fokus jaminan bagi perempuan atas akses penuh dan sama pada prestasi dalam pendidikan dasar dengan kualitas yang baik
Memperbaiki semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulannya, sehingga hasil belajar yang diakui dan terukur dapat diraih oleh semua, terutama dalam keaksaraan, angka dan kecakapan hidup (life skills) yang penting.
Seruan International Education For All ( EFA) yang dikumandangkan UNESCO sebagai kesepakatan global hasil World Education Forum di Dakar, Senegal tahun 2000, penuntasan EFA diharapkan tercapai pada tahun 2015.
Seruan ini senafas dengan semangat dan jiwa Pasal 31 UUD 1945 tentang hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan dan Pasal 32 UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur mengenai Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
Pernyataan Salamanca Tahun 1994 merupakan perluasan tujuan Education For All melandasi pemerataan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus dengan mempertimbangkan pergeseran kebijakan pemerintah yang mendasar untuk menggalakkan pendekatan pendidikan inklusif.
Melalui pendidikan inklusif ini diharapkan sekolah-sekolah reguler dapat melayani semua anak, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus.
Dalam menerapkan pendidikan inklusif sekolah reguler memerlukan dukungan sekolah luar biasa dan Sentra PK/PLK sebagai Pusat Sumber.
Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 perihal pendidikan inklusif : Menyelenggarakan dan mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari : SD, SMP, SMA, SMK.
Landasan Filosofis
“Bhineka Tunggal Ika”. Filsafat ini wujud pengakuan kebhinekaan manusia, baik vertikal maupun horizontal yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di muka bumi. Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan, kecerdasan, fisik, finansial, pangkat, kemampuan, pengendalian diri dsb. Kebhinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah afiliasi politik, dsb.
Bertolak dari filosofis tersebut maka, kecacatan dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa, budaya dan agama. Artinya dari individu kecacatan pasti ditemukan keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri individu berbakat, pasti terdapat kecacatan tertentu, karena tidak ada makhluk di dunia ini yang sempurna. Sistem Pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar peserta didik yang beragam sehingga mendorong sikap demokratis dan penghargaan asas HAM.
Beberapa Kebaikan Pendidikan Inklusif
* Membangun kesadaran dan konsensus pentingnya Pendidikan Inklusif sekaligus menghilangkan sikap dan nilai yang diskriminatif.
* Melibatkan dan memberdayakan masyarakat untuk melakukan analisis situasi pendidikan lokal, mengumpulkan informasi.
* Semua anak pada setiap distrik dan mengidentifikasi alasan mengapa mereka tidak sekolah.
* Mengidentifikasi hambatan berkaitan dengan kelainan fisik, sosial, dan masalah lainnya terhadap akses dan pembelajaran.
* Melibatkan masyarakat dalam melakukan perencanaan dan monitoring mutu pendidikan bagi semua anak.
Alasan Pendidikan Inklusif Diterapkan
* Semua anak mempunyai hak yang sama untuk tidak di-diskriminasi-kan dan memperoleh pendidikan yang bermutu.
* Semua anak mempunyai kemampuan untuk mengikuti pelajaran tanpa melihat kelainan dan kecacatannya.
* Perbedaan merupakan penguat dalam meningkatkan mutu pembelajaran bagi semua anak.
* Sekolah dan guru mempunyai kemampuan untuk belajar merespon dari kebutuhan pembelajaran yang berbeda.
Bentuk Sekolah Inklusif
* Sekolah Biasa/Sekolah Umum, yang mengakomodasi semua Anak Berkebutuhan Khusus
* SLB/Sekolah Luar Biasa/Sekolah Khusus yang mengakomodasi anak normal
(Sekolah Inklusif adalah Sekolah yang terpilih melalui seleksi dan memiliki kesiapan baik Kepala Sekolah, Guru, Orang Tua, Peserta Didik, Tenaga Administrasi dan Lingkungan Sekolah/Masyarakat).
Oleh: Lilis Lismaya, S. Pd. (Praktisi Pendidikan Inklusif)
Menurut Stainback (1990) Sekolah Inklusif adalah Sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Kemudian Staub dan Peck (1995) mengemukakan bahwa Pendidikan Inklusif adalah Penempatan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tingkat ringan, sedang dan berat, secara penuh di kelas reguler. Sedangkan Sapon-Shevin (O’ Neil 1995) menyatakan bahwa Pendidikan inklusi sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar ABK dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya.
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Inklusi terkandung unsur adanya:
1. Layanan Pendidikan yang mengikutsertakan ABK untuk belajar bersama dengan anak sebayanya di kelas regular/ biasa terdekat dengan tempat tinggalnya;
2. Pemberian akses seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu;
3. Pemberian layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan semua anak,
Sekolah Inklusif (di Indonesia) adalah sekolah biasa (SB) yang mengakomodasi semua peserta didik baik anak normal maupun anak berkebutuhan khusus (cacat fisik, intelektual, sosial, emosional, mental, cerdas, berbakat istimewa daerah terpencil/ terbelakang, suku terasing, korban bencana alam/ bencana sosial/ miskin), mempunyai perbedaan pangkat, warna kulit, gender, suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, kelompok politik, anak kembar, yatim, yatim piatu, anak pedesaan, anak kota, anak terlantar, tuna wisma, anak terbuang, anak yang terlibat dalam sistem pengadilan remaja, anak terkena daerah konflik senjata, anak pengemis, anak terkena dampak narkoba HIV/ AIDS (ODHA), anak nomaden, dll sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.
* Pendidikan Inklusif adalah suatu strategi untuk memperbaiki sistem pendidikan melalui perubahan kebijakan dan pelaksanaan yang eksklusif.
* Pendidikan Inklusif berfokus pada peminimalan dan penghilangan berbagai hambatan terhadap akses, partisipasi dan belajar bagisemua anak, terutama bagi mereka yang secara sosial terdiskriminasikan sebagai akibat kecacatan dan kelainannya.
* Pendidikan inklusif melihat perbedaan individu bukan suatu masalah, namun lebih pada kesempatan untuk memperkaya pembelajaran bagi semua anak.
* Pendidikan Inklusif melaksanakan hak setiap anak untuk tidak terdiskriminasikan secara hukum sebagaimana tercantum dalam konvensi PBB (UNCRC) tentang hak anak.
Pendidikan Inklusif menghendaki sistem pendidikan dan sekolah lebih menjadikan anak sebagai pusat dari pembelajaran fleksibel dan dapat menerima perbedaan karakteristik dan latar belakang setiap anak untuk hidup bersama. Hal ini merupakan langkah awal untuk mempromosikan hidup yang lebih toleran, damai dan demokrasi
Landasan Yuridis
Deklarasi Dakar
Pendidikan Untuk Semua (2000)
1. Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak dini usia, terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung
2. Menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak, khususnya anak perempuan, anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka yang termasuk minoritas etnik, mempunyai akses dan menyelesaikan pendidikan dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas baik.
3. Menjamin bahwa kebutuhan belajar semua manusia muda dan orang dewasa terpenuhi melalui akses yang adil pada program-program belajar dan kecakapan hidup (life skills) yang sesuai.
4. Mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniraksaraan orang dewasa menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan, dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan berkelanjutan bagi semua orang dewasa.
5. Menghapus disparitas gender dalam pendidikan dasar dan menengah menjelang tahun 2005 dan mencapai persamaan gender dalam pendidikan menjelang tahun 2015 dengan suatu fokus jaminan bagi perempuan atas akses penuh dan sama pada prestasi dalam pendidikan dasar dengan kualitas yang baik
Memperbaiki semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulannya, sehingga hasil belajar yang diakui dan terukur dapat diraih oleh semua, terutama dalam keaksaraan, angka dan kecakapan hidup (life skills) yang penting.
Seruan International Education For All ( EFA) yang dikumandangkan UNESCO sebagai kesepakatan global hasil World Education Forum di Dakar, Senegal tahun 2000, penuntasan EFA diharapkan tercapai pada tahun 2015.
Seruan ini senafas dengan semangat dan jiwa Pasal 31 UUD 1945 tentang hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan dan Pasal 32 UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur mengenai Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
Pernyataan Salamanca Tahun 1994 merupakan perluasan tujuan Education For All melandasi pemerataan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus dengan mempertimbangkan pergeseran kebijakan pemerintah yang mendasar untuk menggalakkan pendekatan pendidikan inklusif.
Melalui pendidikan inklusif ini diharapkan sekolah-sekolah reguler dapat melayani semua anak, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus.
Dalam menerapkan pendidikan inklusif sekolah reguler memerlukan dukungan sekolah luar biasa dan Sentra PK/PLK sebagai Pusat Sumber.
Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 perihal pendidikan inklusif : Menyelenggarakan dan mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari : SD, SMP, SMA, SMK.
Landasan Filosofis
“Bhineka Tunggal Ika”. Filsafat ini wujud pengakuan kebhinekaan manusia, baik vertikal maupun horizontal yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di muka bumi. Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan, kecerdasan, fisik, finansial, pangkat, kemampuan, pengendalian diri dsb. Kebhinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah afiliasi politik, dsb.
Bertolak dari filosofis tersebut maka, kecacatan dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa, budaya dan agama. Artinya dari individu kecacatan pasti ditemukan keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri individu berbakat, pasti terdapat kecacatan tertentu, karena tidak ada makhluk di dunia ini yang sempurna. Sistem Pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar peserta didik yang beragam sehingga mendorong sikap demokratis dan penghargaan asas HAM.
Beberapa Kebaikan Pendidikan Inklusif
* Membangun kesadaran dan konsensus pentingnya Pendidikan Inklusif sekaligus menghilangkan sikap dan nilai yang diskriminatif.
* Melibatkan dan memberdayakan masyarakat untuk melakukan analisis situasi pendidikan lokal, mengumpulkan informasi.
* Semua anak pada setiap distrik dan mengidentifikasi alasan mengapa mereka tidak sekolah.
* Mengidentifikasi hambatan berkaitan dengan kelainan fisik, sosial, dan masalah lainnya terhadap akses dan pembelajaran.
* Melibatkan masyarakat dalam melakukan perencanaan dan monitoring mutu pendidikan bagi semua anak.
Alasan Pendidikan Inklusif Diterapkan
* Semua anak mempunyai hak yang sama untuk tidak di-diskriminasi-kan dan memperoleh pendidikan yang bermutu.
* Semua anak mempunyai kemampuan untuk mengikuti pelajaran tanpa melihat kelainan dan kecacatannya.
* Perbedaan merupakan penguat dalam meningkatkan mutu pembelajaran bagi semua anak.
* Sekolah dan guru mempunyai kemampuan untuk belajar merespon dari kebutuhan pembelajaran yang berbeda.
Bentuk Sekolah Inklusif
* Sekolah Biasa/Sekolah Umum, yang mengakomodasi semua Anak Berkebutuhan Khusus
* SLB/Sekolah Luar Biasa/Sekolah Khusus yang mengakomodasi anak normal
(Sekolah Inklusif adalah Sekolah yang terpilih melalui seleksi dan memiliki kesiapan baik Kepala Sekolah, Guru, Orang Tua, Peserta Didik, Tenaga Administrasi dan Lingkungan Sekolah/Masyarakat).
Oleh: Lilis Lismaya, S. Pd. (Praktisi Pendidikan Inklusif)
Jenis ABK
UU Sisdiknas Pasal 32 ayat 1: Pendidikan Khusus
1. Tunanetra
2. Tunarungu, Tunawicara
3. Tunagrahita : (a.l. Down Syndrome), Ringan ( IQ= 50-70), Sedang (IQ = 25-50), Berat (IQ £ 25)
4. Tunadaksa : Ringan, Sedang
5. Tunalaras (Destructive) & HIV AIDS & Narkoba
6. Autis
7. Tunaganda
8. Kesulitan Belajar (a.l. Hyperaktif, ADD/ADHD, Dyslexia/Baca, Dysgraphia/Tulis, Dyscalculia/Hitung, Dysphasia/Bicara, Dyspraxia/Motorik) & Lambat Belajar ( IQ = 70-90)
9. Gifted : Potensi Kecerdasan Istimewa (IQ ³ 125)
10. Talented : Potensi Bakat Istimewa (Multiple Intelligences : Language, Logico-mathematic, Visio-spatial, Bodily-kinesthetic, Musical, interpersonal, Intrapersonal, Natural, Spiritual) & INDIGO.
UU Sisdiknas Pasal 32 ayat 2 : Pendidikan Layanan Khusus
1. Daerah terbelakang/terpencil/pedalaman/pulau-pulau kecil, anak TKI di DN/LN, beberapa SILN (Sekolah Indonesia di Luar Negeri), transmigran;
2. Masyarakat etnis minoritas terpencil;
3. Pekerja anak, anak TKI, SILN, pelacur anak/trafficking, lapas anak/anak di lapas dewasa, anak jalanan, anak pemulung/pemulung anak;
4. Pengungsi (gempa, bencana, konflik);
5. Miskin absolut.
1. Tunanetra
2. Tunarungu, Tunawicara
3. Tunagrahita : (a.l. Down Syndrome), Ringan ( IQ= 50-70), Sedang (IQ = 25-50), Berat (IQ £ 25)
4. Tunadaksa : Ringan, Sedang
5. Tunalaras (Destructive) & HIV AIDS & Narkoba
6. Autis
7. Tunaganda
8. Kesulitan Belajar (a.l. Hyperaktif, ADD/ADHD, Dyslexia/Baca, Dysgraphia/Tulis, Dyscalculia/Hitung, Dysphasia/Bicara, Dyspraxia/Motorik) & Lambat Belajar ( IQ = 70-90)
9. Gifted : Potensi Kecerdasan Istimewa (IQ ³ 125)
10. Talented : Potensi Bakat Istimewa (Multiple Intelligences : Language, Logico-mathematic, Visio-spatial, Bodily-kinesthetic, Musical, interpersonal, Intrapersonal, Natural, Spiritual) & INDIGO.
UU Sisdiknas Pasal 32 ayat 2 : Pendidikan Layanan Khusus
1. Daerah terbelakang/terpencil/pedalaman/pulau-pulau kecil, anak TKI di DN/LN, beberapa SILN (Sekolah Indonesia di Luar Negeri), transmigran;
2. Masyarakat etnis minoritas terpencil;
3. Pekerja anak, anak TKI, SILN, pelacur anak/trafficking, lapas anak/anak di lapas dewasa, anak jalanan, anak pemulung/pemulung anak;
4. Pengungsi (gempa, bencana, konflik);
5. Miskin absolut.
Selasa, 26 Januari 2010
Hak setiap anak
Hak Anak (versi unesco) :
1. Untuk dilahirkan, untuk mempunyai nama dan kewarganegaraan;
2. Untuk mempunyai keluarga yang akan menjaga dan menyayangi;
3. Untuk tinggal di dalam komunitas dan masyarakat yang aman dan damai;
4. Untuk mempunyai makanan yang mencukupi dan tubuh badan yang aktif dan sehat;
5. Untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan membentuk potensi diri;
6. Untuk diberi peluang untuk bermain dan beribadah;
7. Untuk dilindungi dari penderitaan, aksploitasi, penculikan, keganasan dan bahaya;
8. Untuk dipertahankan dan diberi bantuan oleh kerajaan/ pemerintah;
9. Untuk dapat mengekspresikan pandangan dirinya sendiri.
HAK ANAK MEMPEROLEH PENDIDIKAN (YANG LAYAK) diatur:
UUD 1945 (amandemen)
Pasal 31
ayat (1) : Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
ayat (2) : Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 49 : Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.
UU no. 20 Tahun 2003 Sisdiknas
Pasal 5
ayat (1) : Setiap warga negara mempunyai HAK YANG SAMA untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
UU no. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
Pasal 3
PENDIDIKAN NASIONAL berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, BERTUJUAN UNTUK BERKEMBANGNYA POTENSI PESERTA DIDIK agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
BAB VII
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN KHUSUS DAN PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS
Bagian Kesatu (Umum)
Pasal 107
Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial, serta memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.
Pasal 108
Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
1. Untuk dilahirkan, untuk mempunyai nama dan kewarganegaraan;
2. Untuk mempunyai keluarga yang akan menjaga dan menyayangi;
3. Untuk tinggal di dalam komunitas dan masyarakat yang aman dan damai;
4. Untuk mempunyai makanan yang mencukupi dan tubuh badan yang aktif dan sehat;
5. Untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan membentuk potensi diri;
6. Untuk diberi peluang untuk bermain dan beribadah;
7. Untuk dilindungi dari penderitaan, aksploitasi, penculikan, keganasan dan bahaya;
8. Untuk dipertahankan dan diberi bantuan oleh kerajaan/ pemerintah;
9. Untuk dapat mengekspresikan pandangan dirinya sendiri.
HAK ANAK MEMPEROLEH PENDIDIKAN (YANG LAYAK) diatur:
UUD 1945 (amandemen)
Pasal 31
ayat (1) : Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
ayat (2) : Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 49 : Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.
UU no. 20 Tahun 2003 Sisdiknas
Pasal 5
ayat (1) : Setiap warga negara mempunyai HAK YANG SAMA untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
UU no. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
Pasal 3
PENDIDIKAN NASIONAL berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, BERTUJUAN UNTUK BERKEMBANGNYA POTENSI PESERTA DIDIK agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
BAB VII
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN KHUSUS DAN PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS
Bagian Kesatu (Umum)
Pasal 107
Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial, serta memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.
Pasal 108
Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Dasar Hukum Inklusif
UUD 1945 (amandemen)
Pasal 31
ayat (1) : Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
ayat (2) : Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya
UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 49 : Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan
UU no. 20 Tahun 2003 Sisdiknas
Pasal 5
ayat (1) : Setiap warga negara mempunyai HAK YANG SAMA untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
Millennium Development Goals 2005
* Eradicating Extreme Poverty and Hunger
* Achieving Universal Basic Education
* Promoting Gender Equality and Empowering Women
* Reducing Child Mortality
* Improving Maternal Health
* Combating HIV/AIDS, Malaria, and Other Diseases
* Ensuring Environmental Sustainability
Deklarasi Bandung (Nasional) “ Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif ” 8-14 Agustus 2004
* Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya mendapatkan kesempatan akses dalam segala aspek kehidupan, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial, kesejahteraan, keamanan, maupun bidang lainnya, sehingga menjadi generasi penerus yang handal
* Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya sebagai individu yang bermartabat, untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi, pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan potensi dan kebutuhan masyarakat, tanpa perlakuan diskriminatif yang merugikan eksistensi kehidupannya baik secara fisik, psikologis, ekonomis, sosiologis, hukum, politis maupun kultural
* Menyelenggarakan dan mengembangkan pengelolaan pendidikan inklusif yang ditunjang kerja sama yang sinergis dan produktif antara pemerintah, institusi pendidikan, institusi terkait, dunia usaha dan industri, orang tua serta masyarakat.
DEKLARASI DAKAR PENDIDIKAN UNTUK SEMUA (2000)
* Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak dini usia, terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung
* Menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak, khususnya anak perempuan, anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka yang termasuk minoritas etnik, mempunyai akses dan menyelesaikan pendidikan dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas baik
* Menjamin bahwa kebutuhan belajar semua manusia muda dan orang dewasa terpenuhi melalui akses yang adil pada program-program belajar dan kecakapan hidup (life skills) yang sesuai.
* Mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniraksaraan orang dewasa menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan, dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan berkelanjutan bagi semua orang dewasa
* Menghapus disparitas gender dalam pendidikan dasar dan menengah menjelang tahun 2005 dan mencapai persamaan gender dalam pendikan menjelang tahun 2015 dengan suatu fokus jaminan bagi perempuan atas akses penuh dan sama pada prestasi dalam pendidikan dasar dengan kualitas yang baik
* Memperbaiki semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulannya, sehingga hasil belajar yang diakui dan terukur dapat diraih oleh semua, terutama dalam keaksaraan, angka dan kecakapan hidup (life skills) yang penting.
Inclusion and the removal of Barriers to Learning
26th – 29th September 2005, Bukittinggi, West Sumatra, Indonesia
Pasal 31
ayat (1) : Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
ayat (2) : Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya
UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 49 : Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan
UU no. 20 Tahun 2003 Sisdiknas
Pasal 5
ayat (1) : Setiap warga negara mempunyai HAK YANG SAMA untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
Millennium Development Goals 2005
* Eradicating Extreme Poverty and Hunger
* Achieving Universal Basic Education
* Promoting Gender Equality and Empowering Women
* Reducing Child Mortality
* Improving Maternal Health
* Combating HIV/AIDS, Malaria, and Other Diseases
* Ensuring Environmental Sustainability
Deklarasi Bandung (Nasional) “ Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif ” 8-14 Agustus 2004
* Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya mendapatkan kesempatan akses dalam segala aspek kehidupan, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial, kesejahteraan, keamanan, maupun bidang lainnya, sehingga menjadi generasi penerus yang handal
* Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya sebagai individu yang bermartabat, untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi, pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan potensi dan kebutuhan masyarakat, tanpa perlakuan diskriminatif yang merugikan eksistensi kehidupannya baik secara fisik, psikologis, ekonomis, sosiologis, hukum, politis maupun kultural
* Menyelenggarakan dan mengembangkan pengelolaan pendidikan inklusif yang ditunjang kerja sama yang sinergis dan produktif antara pemerintah, institusi pendidikan, institusi terkait, dunia usaha dan industri, orang tua serta masyarakat.
DEKLARASI DAKAR PENDIDIKAN UNTUK SEMUA (2000)
* Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak dini usia, terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung
* Menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak, khususnya anak perempuan, anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka yang termasuk minoritas etnik, mempunyai akses dan menyelesaikan pendidikan dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas baik
* Menjamin bahwa kebutuhan belajar semua manusia muda dan orang dewasa terpenuhi melalui akses yang adil pada program-program belajar dan kecakapan hidup (life skills) yang sesuai.
* Mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniraksaraan orang dewasa menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan, dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan berkelanjutan bagi semua orang dewasa
* Menghapus disparitas gender dalam pendidikan dasar dan menengah menjelang tahun 2005 dan mencapai persamaan gender dalam pendikan menjelang tahun 2015 dengan suatu fokus jaminan bagi perempuan atas akses penuh dan sama pada prestasi dalam pendidikan dasar dengan kualitas yang baik
* Memperbaiki semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulannya, sehingga hasil belajar yang diakui dan terukur dapat diraih oleh semua, terutama dalam keaksaraan, angka dan kecakapan hidup (life skills) yang penting.
Inclusion and the removal of Barriers to Learning
26th – 29th September 2005, Bukittinggi, West Sumatra, Indonesia
Langganan:
Postingan (Atom)